Senin, 16 April 2018

Journey of Revealing The Truth

Tristin Hartono (14150098)
sumber: eile.ie

 “The only way to protect the right to publish, is to publish.”
Kalimat tersebut masih menempel di pikiran saya sejak credit title ditayangkan. Ben Bradlee, yang diperankan oleh aktor kawakan, Tom Hanks, dengan jelas mengucapkan pernyataan itu ketika ia bersikeras ingin menerbitkan berita yang dapat mempertaruhkan nasib perusahaan surat kabar The Washington Post.

Mengambil latar waktu di tahun 1971, ketika perang Amerika-Vietnam hampir berakhir, film besutan Steven Spielberg ini  lagi-lagi berhasil mencetak 13 prestasi pada 12 ajang penghargaan film di Amerika. Selain Tom Hanks yang sudah menjadi "langganan" memerankan film arahan Spielberg, kita dapat melihat hadirnya Meryl Streep yang memegang peran sebagai karakter utama, yakni Katharine “Kay” Graham, pemilik perusahaan The Washington Post.

Selain kedua tokoh di atas, saya turut menyadari keberadaan karakter yang mondar-mandir di beberapa film yang saya tonton seperti Steve Jobs (2015), Doctor Strange (2016), Call Me by Your Name (2017) hingga The Shape of Water (2017), yap, the kinda-underrated actor, Michael Stuhlbarg, si pemeran tokoh Abe Rosenthal, editor eksekutif harian The New York Times.

Daftar pujian yang terpampang di poster film membuat pendapat saya menjadi agak subjektif, bahkan sebelum menonton film ini. Ditambah lagi, janji dosen kelas Media Online yang dengan antusias mengajak kami sekelas untuk menonton bersama di bioskop. Saya yakin bahwa film ini akan menjadi salah satu film yang menggugah antusias saya, dan tak kalah penting, plot cerita yang menyinggung media massa diperankan oleh aktor yang tak diragukan lagi kemampuan beraktingnya.

Gambaran Plot

Konflik dimulai ketika Daniel Ellsberg (Matthew Rhys) mencuri data negara berisi dokumen perang Amerika-Vietnam yang kini disebut “Pentagon Papers”. Harian The Washington Post (selanjutnya disingkat “The Post”) yang saat itu sibuk dengan masalah peliputan pernikahan salah satu putri Presiden Nixon mendapat kabar bahwa harian The New York Times merilis berita yang menyatakan bahwa Nixon dan beberapa presiden sebelumnya memalsukan informasi perang dan mengirim tentara sebanyak mungkin meskipun pada akhirnya Amerika akan mengalami kekalahan dari Vietnam.

The Post menjunjung tinggi peran surat kabar yang harus berimbang dalam menyajikan informasi. Oleh karena itu, Ben Bradlee, sebagai editor eksekutif, merasa berkewajiban untuk merilis berita sesuai fakta yang akhirnya mengantarkan cerita pada perselisihan antara dirinya dengan Frederick “Fritz” Beebe (Tracy Letts), chief officer The Post.

Fritz yang tidak terlalu peduli tentang fakta yang seharusnya diungkapkan ke khalayak bersikeras menolak publikasi tersebut, sebab ia lebih fokus terhadap kestabilan saham The Post. Pada titik inilah Kay Graham harus memutuskan, antara mempertahankan kelangsungan bisnis surat kabarnya, atau membiarkan fakta tersebar di masyarakat.

Gambar yang ditata dengan apik melalui perspektif (dari penggunaan rule of third), pencahayaan, fokus, dsb. membuat para penonton tenggelam dalam imajinasi sang sutradara. Sebab, pada 30 menit pertama saja saya sudah memerhatikan gerakan kamera yang halus membingkai suasana lalu mengikuti objek yang dituju.

Sebagai orang awam pun, saya merasa dimanjakan dengan hasil tangkapan gambar arahan Spielberg. Meskipun bukan hal kecil untuk diperhatikan oleh seorang sutradara, namun keramaian yang terlihat natural di kantor The Post entah kenapa membuat saya merasa puas dengan hasil karya Spielberg yang satu ini, termasuk segelintir karakter yang merokok di dalam gedung (bahkan lift), demi menggambarkan suasana kantor surat kabar tahun 70an.

Menyinggung Feminisme
Kedatangan Kay Graham di American Stock Exchange
Selain cerita yang berfokus pada dilema yang dialami Kay, saya juga menemukan pelanggaran terhadap paham feminisme. Kay Graham, sebagai wanita pertama yang masuk dalam “Fortune 500 CEO in 1972”, saat itu belum memiliki pedoman bertingkah laku di tengah para pria pebisnis sehingga ia melakukan sedikit kesalahan saat pertama kali menghadiri American Stock Exchange yang ditandai dengan gerakan pelan moderator menahan bahu belakang Kay saat ia akan berdiri.

Kay Graham menarik tumpukan berkas dari mejanya
Contoh lainnya adalah ketika Kay sarapan dengan Ben, meskipun pangkat Kay lebih tinggi, namun Ben berani menegur Kay yang menaruh tangan di atas meja makan, lalu diikuti dengan adegan rapat Kay dengan para bankir, di mana ia merasa canggung ketika menaruh tumpukan berkas di atas meja yang setelah itu diturunkannya dari atas meja, hingga para bankir yang kompak menganggap remeh sistem perekonomian The Post karena perusahaan itu dipimpin oleh seorang wanita, seperti yang diutarakan Arthur Parsons (Bradley Whitford) usai rapat.

Banyaknya karakter wanita dengan “pangkat” yang lebih rendah di masyarakat membuat saya mulai mengagumi sosok Kay Graham. Ia dapat menjadi tokoh wanita yang stand out tidak hanya di antara para wanita, tapi juga di tengah pria dengan kedudukan tinggi. Ia pun dengan lapang dada membiarkan ayah kandungnya memberikan warisan bisnis untuk suaminya, Phil Graham, lalu meninggalkan kehidupannya bersama anak-cucu ketika suaminya harus pergi untuk selama-lamanya hingga mendedikasikan diri untuk terus mempertahankan perusahaan keluarganya. I mean, she’s such a generously strong woman, though!
 

Meski diderai berbagai pujian, namun saya punya kritik tersendiri untuk film yang satu ini. Menurut saya, film ini kurang cocok jika dijadikan tontonan keluarga dengan anak-anak di bawah umur, karena cerita yang disajikan agak berat dan cukup membuat penonton Indonesia yang tidak mengerti istilah atau merk produk Amerika harus memutar otak sedikit lebih keras, misalnya ketika salah satu bankir yang menghadiri rapat membicarakan tentang Gannett’s Knight Ridder, yakni salah satu perusahaan media surat kabar dan internet yang berhenti berfungsi sejak 2006. See, saya pun harus menjelajahi internet terlebih dulu untuk mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan.

Secara keseluruhan, film yang saya beri rating 7.5/10 ini cocok ditujukan bagi penonton yang tertarik dengan film berplot “berat” yang dibumbui sejarah kelamnya Amerika saat dipimpin Richard Nixon, juga sebagai contoh bagaimana hoax sudah ada sejak zaman dulu, serta seberapa besar perjuangan media massa cetak yang menjunjung tinggi kebenaran informasi harus melalui rintangan demi menunjukkan fakta sebenarnya. Presumably, this is a film about the journey of revealing the truth. (TH)

Rabu, 28 Februari 2018

Imlek: Tradisi Penuh Makna

Oleh Tristin Hartono (14150098)
Image result for gambar cartoon imlek
sumber: antvklik.com
Musim semi sudah datang! Inilah saatnya bagi para petani di China untuk segera melakukan perayaan besar. Festival kebudayan ini sudah menyebar hingga ke Indonesia, Tahun Baru Imlek namanya. Di China, festival ini diadakan untuk merayakan hari pertama musim semi.

Tak hanya masyarakat etnis Tionghoa, namun hampir seluruh kota besar di Indonesia turut memeriahkan acara kebudayaan ini. Misalnya rangkaian ornamen yang didominasi warna merah dapat kita lihat meramaikan tempat tertentu seperti pusat barang grosir (khususnya Jakarta Pusat), bank, hingga beberapa pusat perbelanjaan.

Bagi etnis Tionghoa sendiri, momen Imlek digunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dan bercengkrama dengan anggota keluarga yang jarang ditemui. Nah, saya yang sudah merayakan Imlek sejak kecil pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Yap, angpao!

Amplop khas berwarna merah yang biasanya dihiasi oleh motif atau gambar lucu ini memiliki daya tarik tersendiri untuk setiap orang. Mulai dari desain hingga jumlah isi angpao adalah hal yang disukai setiap orang yang menerimanya.

Selain angpao, masih banyak aksesoris lain yang “menghiasi” Tahun Baru Imlek, seperti barongsai, pakaian baru berwarna merah, pohon dengan bunga sakura yang diberi hiasan angpao, lampion kertas yang digantung di langit-langit rumah, dan tak lupa, ragam hidangan khas Tionghoa yang disajikan dalam jumlah besar.
Related image
sumber: surabayatimes.com

Hidangan Khas Imlek
Perayaan Imlek berlangsung selama 2 hari atau lebih, tergantung seberapa banyak keluarga yang harus dikunjungi. Di hari pertama, tuan rumah yang melakukan open house biasanya menyajikan banyak makanan ringan (snack) hingga makanan berat.

Makanan khas yang wajib ada saat Imlek adalah beragam jenis kue kering, seperti kue nastar, kue putri salju, kastengel, lidah kucing, dan kue kacang. Selain itu, hidangan utama yang biasanya terdiri dari mi, seafood, dan berbagai jenis daging halal dan non halal pun tak boleh ketinggalan.

Tak hanya beragam, beberapa makanan khas ini juga memiliki nilai tersendiri. Contohnya adalah kue nastar yang melambangkan keberuntungan. Berasal dari Bahasa Hokkian, “ong lai” yang secara harafiah berarti pir emas, kue nastar juga berarti keberuntungan datang. Warna emas yang terpancar dari kue nastar, serta lembut dan manisnya nanas dalam balutan adonan kue melambangakan rezeki berlimpah. Semakin banyak isi nanas, semakin berlimpah juga rezekinya.

Selanjutnya ada mi goreng yang berarti anugerah umur panjang, kebahagiaan, dan rezeki melimpah bagi setiap orang yang memakannya. Selain kue dan hidangan utama, ada juga jeruk yang disajikan bersama daun dan tangkainya. Jeruk yang berwarna emas dan agak berat diartikan sebagai emas, sedangkan adanya tangkai dan daun berarti kemakmuran dan kesejahteraan yang akan selalu tumbuh.
Related image
sumber: asumsi.co


Ritual Kegamaan
Tahun Baru Imlek identik dengan ritual salah satu agama yang diakui di Indonesia, yakni agama Budha. Saat hari pertama Imlek, umat Budha biasanya mengunjungi kelenteng atau vihara di pagi hari untuk melakukan sembahyang kepada leluhur. Setelah itu, akan ada beberapa anak remaja yang menampilkan pertunjukkan barongsai di sekitar kelenteng atau vihara.
Related image
sumber: kelanakota.suarasurabaya,net

Kata “barongsai” berasal dari gabungan 2 bahasa, yakni Bahasa Bali dan Tionghoa dialek Fujian (Hokkien). Secara etimologis, barongsai terbagi menjadi 2 kata, “Barong” (Bali) dan “Sai” (Tionghoa), yang sama-sama berarti “singa”.

Wu Chenxu, Guo Licheng dan Ye Deming dalam bukunya Zhongguo de Fengsu Xiguan (Taipei, 1977) mengatakan bahwa bangsa Tionghoa adalah bangsa yang mengutamakan kebersamaan dan tidak bersifat individualis. Pertunjukkan barongsai yang melibatkan belasan orang adalah salah satu contohnya. Setiap pemain barongsai memiliki tugas masing-masing.

Tidak ada tugas yang tidak lebih penting dari yang lainnya. Satu tim barongsai membutuhkan 2 hingga 3 orang untuk membawakan tarian dengan kostum singa, lalu ada anggota lain yang memainkan alat musik khas, seperti simbal (cai-cai), gong (nong), dan tambur. Setiap anggota tim harus saling kompak memberikan pertunjukkan, di sanalah kerja sama dan kekompakan dibutuhkan.
Related image
sumber: telegraph.co.uk

Perayaan Pasca Imlek
Selama seminggu sejak hari pertama perayaan Imlek, masyarakat etnis Tionghoa tidak diperbolehkan untuk menyapu atau membersihkan rumah mereka. Konon katanya, jika kita menyapu rumah berarti menyapu (mengusir) rezeki yang datang saat Imlek berlangsung.

Lima belas hari setelah Tahun Baru Imlek, ada perayaan lagi yang dirayakan, yaitu Cap Go Meh. Secara harafiah, Cap Go Meh berarti “lima belas malam”, berasal dari dialek Hokkien. Ini adalah hari terakhir perayaan Imlek, di mana etnis Tionghoa melakukan tradisi makan onde dan kue keranjang.

Kue onde yang berbentuk seperti bola dengan taburan biji wijen di luarnya akan mengembang ketika digoreng, ini melambangkan keberuntungan yang semakin bertambah seiring “dimasak”, sedangkan kue keranjang atau “Nian Gao” yang berarti kue tahunan juga mempunyai artinya tersendiri.

Related image
sumber: indonesia-tourism.com
Secara filosofis, kue keranjang yang terbuat dari tepung ketan dan memiliki sifat lengket memiliki arti persaudaraan yang sangat erat dan menyatu. Rasa kue keranjang yang manis juga menggambarkan rasa suka cita dan kegembiraan.

Bentuk kue yang bulat dan tak bersudut juga mempunyai maknanya tersendiri, bentuk ini melambangkan hubungan keluarga yang tidak melihat ada yang lebih penting selain keluarga dan akan selalu bersama tanpa batas waktu.


Zaman boleh berubah, generasi akan berganti seiring waktu, umur akan semakin berkurang yang berarti momen berkumpul kembali dengan sanak saudara akan berkurang, namun sifat tahan lama kue keranjang dapat mewakili pesan yang harus diingat setiap generasi etnis Tionghoa; hubungan keluarga akan tetap abadi meski zaman sudah berganti.
Image result for kue keranjang
sumber: id.openrice.com

Selasa, 06 Februari 2018

Berakhir Pekan di "Surganya Indonesia"

Oleh Tristin Hartono (14150098)
 
Pantai Melasti. (Dok. Penulis)
Oktober, 2017, ketika saya bersama teman-teman iseng merencanakan perjalanan ini, “Bangkok?”, “Jogja aja,” “Nggak ah, Jogja lebih horor daripada Bali, “Kalau gitu kita ke Bali aja! “Atau mau ke Malang?” percakapan ini berlanjut, sehingga masih di bulan yang sama, pesawat dengan penerbangan Jakarta-Denpasar dan sebaliknya di tanggal 2 dan 4 Februari sudah terpesan untuk 5 orang.

“…and welcome to Bali.” Tutup seorang wanita dari pengeras suara di pesawat yang memecah keheningan di otak saya, menguapkan memori yang teringat ketika perjalanan ini hanya sebuah guyonan belaka.

Kami sampai di pintu kedatangan ketika seorang tour guide yang juga teman salah satu ‘wali’ (pembina kegiatan gereja‒red) kami menyambut dengan senyuman. “Kenalin, ini namanya Ko Puji,” ujar pembina wanita kami, Ci Feciana. Mengikuti budaya kami semua, yakni etnis Tionghoa, adalah hal biasa untuk memanggil “Cici” dan “Koko”.

The Adventure Begins
Perjalanan ini diawali dengan santap siang di Warung Cahaya yang menyediakan hidangan non-halal. Lalu setelah melakukan check-in di hotel, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Pantai Canggu di Kuta Utara. “Akhirnya, udara pantai!” saya membatin. Saat itu matahari masih tinggi, yang untungnya berbanding lurus dengan semangat kami.

Angin yang berembus pelan melahirkan deburan ombak yang tenang, hingga mengantarkan saya pada ketenangan sementara dari hiruk pikuk Kota Jakarta. Meski pasir pantai terlihat agak kotor dan berwarna gelap, namun view berupa anjing liar yang tinggal di pura dekat pantai membuat saya dapat melihat, bagaimana anjing dapat hidup berdampingan dengan manusia.

Setelah beberapa kali mengambil swafoto bersama, tiba-tiba seekor anjing ras besar berwarna hitam mendatangi saya. Sembari menggigit botol minum bekas berisi sedikit pasir, ia melepaskan gigitannya, membiarkan botol itu terjatuh di kaki saya.
 
Stanley dan pemiliknya sedang bermain di pantai. (Dok. Penulis)
Meski belum kenal, namun anjing betina yang akhirnya diketahui bernama “Stanley” ini tidak berusaha menghindar atau menggigit ketika saya usap kepalanya. Kode yang ia kirim saya jawab dengan mengambil botol yang ia berikan, lalu melemparnya ke arah laut. Ia berlari dengan semangat, mengambil botol mainannya tersebut, lalu kembali ke kaki saya melakukan hal yang sama.

Perjalanan dilanjutkan dengan menikmati gelato yang konon hanya ada di Bali, sebab sisanya hanya ada di luar Indonesia, Gusto Gelato namanya. Harga yang ditawarkan pun setara dengan lezatnya varian rasa es krim yang beragam, mulai dari spicy chocolate, hingga lemongrass (sereh) dan Kemangi.

Hari pertama di Bali ditutup dengan berbelanja di Krisna, Kuta, di mana sebelumnya kami sudah menyantap Soto Bakso Warung Wijaya. Saya sangat menyarankan Anda untuk mencoba soto bakso yang terdapat di Jalan Kuta Raya ini jika Anda adalah penyuka soto daging, sebab kuah yang disajikan sangat khas dengan tambahan daging dan bakso sapi yang kenyal dan juicy.

Burn the Skin!
Di hari kedua, kami mengunjungi tempat yang tak terduga. Sejak meninggalkan hotel, saya terlelap akibat didukung cuaca agak mendung, dan menyerahkan rencana perjalanan kepada Ci Feciana dan Ko Puji. Selang beberapa waktu, saya dibangunkan dengan penampakan tebing kapur yang menjulang tinggi dan lebar menghiasi jalanan.

Setelah mengikuti jalan menanjak ke arah puncak tebing, tampaklah proyek megah setinggi 120 meter yang melibatkan ratusan seniman dan ‘trailer’nya sudah ada sejak 1997 di Desa Ungasan, Kuta Selatan. Ya, patung Garuda Wisnu Kencana (GWK)… dari jarak dekat! Meski patung ini terkenal, namun belum banyak wisatawan yang bertandang ke tempat ini.
Patung Garuda Wisnu Kencana. (Dok. Penulis)

Perjalanan dilanjutkan ke Pantai Melasti. Namun, mobil terhenti di pinggir jalan. Ko Puji mengiyakan permintaan kami untuk berfoto di jalan aspal dekat Banyan Tree Chapel yang dihiasi dengan pepohonan dan tebing kapur. “Yuk, kita naik tangga dekat sini,” ujarnya setelah kami selesai berfoto.
Jalan di pinggir Banyan Tree Chapel. (Dok. Penulis)

Awalnya saya bingung, sebab pantai tujuan kami sudah terlihat di depan mata dan kami seharusnya turun ke arah pantai, bukannya naik. Namun, saya hanya mengikuti arahan tour guide. Bagi Anda yang kurang kuat menanjak tangga dan tidak berani dengan ketinggian, tur ini kurang disarankan.
 
Tangga menuju tebing kapur Melasti. Berani mencoba? (Dok. Penulis)
Kami mendaki kurang lebih hampir 100 anak tangga, lalu menapaki jalan setapak dengan bebatuan licin, dan kami sampai di bebatuan karang terjal nan tinggi. Inilah yang disebut dengan surga yang terletak di balik tebing kapur berkelok. Cahaya matahari yang bersembunyi di balik awan sirostratus dan deburan ombak dari bawah sana menjadi pelengkap tur Pantai Melasti ini.

Asik berfoto di tebing tak membuat kami melupakan tujuan utama, pantai! Kami kembali ke mobil, lalu Ko Puji mengantarkan kami ke ujung pantai Melasti yang benar-benar tidak dijamah pengunjung. Tidak heran, pantai kecil yang dihiasi aspal yang hancur terkena abrasi ini sepertinya sering pasang ketika hujan, dan pasir hitamnya didominasi oleh batu besar, sayangnya, hanya saya yang menyukai suasana ini.
 
Bagian ujung Pantai Melasti, hampir tak terjamah manusia. (Dok. Penulis)
Berkeliling Discovery Mall, berbelanja sandal yang hanya tersedia di Bali, Fipper, dan menyantap Babi Guling Bu Dayu menjadi penutup di hari kedua ini. Rasanya saya masih butuh beberapa hari lagi untuk berkelana menjelajahi Bali. Namun, waktu berkata lain, saya harus segera berkemas agar esok pagi dapat pergi ke gereja dan meninggalkan hotel lebih cepat.

Good Bye Bali
Sepulang dari gereja, kami menyantap sarapan sate babi di Jalan Buni Sari, lalu melancong ke toko snack kekinian, Rasalokal, dan lanjut ke Beachwalk, Kuta, sebelum akhirnya makan Nasi Tempong Indra di Jalan Dewi Sri, Legian, dan mengakhiri perjalanan kami di Bali.

Overall, perjalanan pertama ke Bali selama 3 hari 2 malam ini cukup berkesan bagi saya yang menyukai petualangan di tempat yang tidak terlalu ramai. Meskipun saya tidak terlalu menikmati wisata kuliner dan merasa kurang puas karena tidak mengunjungi pura karena berhalangan, namun kebersamaan di perjalanan adalah hal yang saya utamakan walau harus membiarkan kulit saya terbakar akibat harus mengabadikan momen terbaik kami.
 
Bonus! Hasil swafoto di Pantai Canggu ditemani teriknya matahari. (Dok. Penulis)

Jika Anda berminat untuk melakukan perjalanan ke Bali bersama rombongan kecil dan ingin lebih mengeksplor tempat-tempat unik yang mungkin sangat jarang dikunjungi wisatawan, Anda dapat menyewa jasa tour guide Ko Puji dengan menghubungi nomor WhatsApp +62-818-0886-3212/+62-813-5366-1688. Dengan harga bersahabat, Anda sudah dapat berkeliling Bali dan mendapat teman tour guide baru lho, hihihi… (TH)